Kamis, 02 Desember 2010
Profil Bob Sadino
Nama :
Bob Sadino
Lahir :
Tanjungkarang, Lampung, 9 Maret 1933
Agama :
Islam
Pendidikan :
-SD, Yogyakarta (1947)
-SMP, Jakarta (1950)
-SMA, Jakarta (1953)
Karir :
-Karyawan Unilever (1954-1955)
-Karyawan Djakarta Lloyd, Amsterdam dan Hamburg (1950-1967)
-Pemilik Tunggal Kem Chicks (supermarket) (1969-sekarang)
-Dirut PT Boga Catur Rata
-PT Kem Foods (pabrik sosis dan ham)
-PT Kem Farms (kebun sayur)
Alamat Rumah:
Jalan Al Ibadah II/12, Kemang, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan Telp: 793981
Alamat Kantor :
Kem Chicks Jalan Bangka Raya 86, Jakarta Selatan Telp: 793618
Bob Sadino (Lampung, 9 Maret 1933), atau akrab dipanggil om Bob, adalah seorang pengusaha asal Indonesia yang berbisnis di bidang pangan dan peternakan. Ia adalah pemilik dari jaringan usaha Kemfood dan Kemchick. Dalam banyak kesempatan, ia sering terlihat menggunakan kemeja lengan pendek dan celana pendek yang menjadi ciri khasnya. Bob Sadino lahir dari sebuah keluarga yang hidup berkecukupan. Ia adalah anak bungsu dari lima bersaudara. Sewaktu orang tuanya meninggal, Bob yang ketika itu berumur 19 tahun mewarisi seluruh harta kekayaan keluarganya karena saudara kandungnya yang lain sudah dianggap hidup mapan.
Sumber : http://kolom-biografi.blogspot.com/2009/12/biografi-bob-sadino-pengusaha-sukses.html
Bob Sadino
Lahir :
Tanjungkarang, Lampung, 9 Maret 1933
Agama :
Islam
Pendidikan :
-SD, Yogyakarta (1947)
-SMP, Jakarta (1950)
-SMA, Jakarta (1953)
Karir :
-Karyawan Unilever (1954-1955)
-Karyawan Djakarta Lloyd, Amsterdam dan Hamburg (1950-1967)
-Pemilik Tunggal Kem Chicks (supermarket) (1969-sekarang)
-Dirut PT Boga Catur Rata
-PT Kem Foods (pabrik sosis dan ham)
-PT Kem Farms (kebun sayur)
Alamat Rumah:
Jalan Al Ibadah II/12, Kemang, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan Telp: 793981
Alamat Kantor :
Kem Chicks Jalan Bangka Raya 86, Jakarta Selatan Telp: 793618
Sumber : http://kolom-biografi.blogspot.com/2009/12/biografi-bob-sadino-pengusaha-sukses.html
tentang visi :Visi tanpa eksekusi adalah lamunan. Eksekusi tanpa visi adalah mimpi buruk.
Vision without exec
ution is a daydream. Execution without vision is a nightmare.
~ Japanese Proverb
hal kecil dengan cinta :Dalam kehidupan ini kita tidak dapat selalu melakukan hal yang besar. Tetapi kita dapat melakukan banyak hal kecil dengan cinta yang besar.
In this life we cannot always do great things. But we can do small things with great love
~Mother Teresa
hidup ini singkat :
Hidup ini singkat. Tidak ada waktu untuk meninggalkan kata-kata penting tak terkatakan.
Life is short. There is no time to leave important words unsaid.
~ Paulo Coelho
sukses adalah perjalanan :
Sukses adalah sebuah perjalanan, bukan tujuan akhir
Success is a journey, not a destination.
~ Ben Sweetland
memberi dan menerima :
Mereka yang dapat memberi tanpa mengingat, dan menerima tanpa melupakan akan diberkati.
Blessed are those that can give without remembering and receive without forgetting.
~ Author Unknown
cara memulai :
Cara memulai adalah dengan berhenti berbicara dan mulai melakukan.
The way to get started is to quit talking and begin doing.
~ Walt Disney
7 aspek leadership
komunikasi
menyatu dengan yang lain
belajar untuk belajar
membuat keputusan
mengatur
bekerja dalam kelompok
leadhership dalam pandangan
KEPEMIMPINAN dalam PANDANGAN islam
Saudaraku seiman Rahimakumullah,
Selaku warga bangsa khususnya kita warga provinsi Sumatera Utara, sebentar lagi akan menghadapi sebuah pesta demokrasi yaitu pilgubsu 2008. Melalui kegiatan itu kita akan menentukan kepada siapakah tampuk kepemimpinan di provinsi ini akan kita percayakan. Didalam tashowwur / persepsi Islam, kepemimpinan adalah bagian dari syari’at Islam itu sendiri, karenanya saudaraku kaum muslimin rahimakumullah, selaku ummat Islam yang percaya kepada syari’at agama nya wajiblah kita semua memiliki pandangan yang serius pula terhadap masalah ini dan hendaknya tidak ada seorangpun dari ummat Islam yang apatis atau masa bodoh terhadap soal kepemimpinan ini. Bahkan semestinya harus dengan sangat antusias menyongsong dan mempersiapkan langkah-langkah dengan perhitungan cermat agar kita bisa menghasilkan kepemimpinan yang baik, kepemimpinan yang sholih, kepemimpinan yang memberikan maslahat dan manfaat bagi seluruh rakyat dan kepemimpinan yang dinaungi Allah swt dengan inayah dan maghfiroh Nya. Jadi untuk itu ada beberapa hal yang harus kita sepakati dalam urusan ini.
Hal yang pertama ; marilah kita bulatkan terlebih dahulu tekad kita, kita samakan visi kita bahwa kepemimpinan kedepan harus diserahkan kepada orang-orang sholih yaitu orang yang punya cukup alasan untuk mendapatkan bantuan Allah swt dalam melaksanakan tugasnya kelak.
Bayangkan saudaraku sekalian, jika kita umat Islam ini apatis terhadap suksesi kepemimpinan ini, kemudian kita dengan sengaja menarik diri dari percaturan ini dengan tidak berperan serta dalam menentukan pilihan kita, ini artinya kita telah memberikan kesempatan seluas-luasnya kepada para pendukung kebathilan untuk menggolkan orang-orang yang pro terhadap kebathilan itu. Jika demikian, bagaimanakah negeri ini akan baik sebab kebaikan sebuah negeri akan sangat tergantung kepada kebaikan pemimpinnya. Sebuah ungkapan hikmah mengatakan “ar ro’iyyatu tahta diini mulukihim yang artinya baik-buruknya rakyat itu terletak dibawah kualitas agama pemimpinnya.
Maka marilah saudaraku seiman rahimakumullah, kita camkan bahwa kita wajib berfikir masak-masak sebelum menentukan pilihan kita nanti.
Janganlah nasib kita lima tahun kedepan kita korbankan hanya karena kesalahan yang kita lakukan lima menit saat pemilihan.
Hal yang kedua yang harus kita samakan persepsi kita ; saat ini dihadapan kita sudah ada beberapa pilihan yang akan kita pilih, mereka adalah orang-orang yang mengajukan dirinya untuk dipilih menjadi pemimpin kita. Didalam sistem demokrasi memang diharuskan adanya proses pencalonan dan pengajuan diri untuk meraih jabatan publik.
Hal ini sesungguhnya tidaklah bertentangan dengan syari’at Islam yang kita anut, meskipun sering juga sebagian kita berpedoman kepada sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari-Muslim yang artinya : “Rasulullah saw bersabda ; “Demi Allah, aku tidak akan memberikan jabatan kepada orang yang memintanya, apalagi kepada orang yang tamak padanya”
Mari kita fahami ini dengan seksama agar kita tidak salah memahami Islam ini sehingga pada gilirannya akan merugikan kita sendiri karena kita meyakini syari’at Islam secara tidak pas.
Sebenarnya perihal seseorang yang meminta jabatan dalam kepemimpinan yang menentukan nasib rakyat pernah terjadi yaitu dilakukan oleh nabi Yusuf as yang kala itu beliau meminta jabatan sebagai bendaharawan negeri Mesir dibawah pemerintahan al Aziz. Hal ini terekam abadi dalam QS Yusuf : 55 yang artinya : “Berkata Yusuf; jadikanlah aku bendaharawan negara (Mesir); sesungguhnya aku adalah orang yang pandai menjaga lagi berpengetahuan”.
Lantas bagaimanakah kita mengkompromikan antara nash quran ini dengan hadits riwayat Bukhari-Muslim yang memuat larangan meminta jabatan tadi ?
Menurut ustadz Sayyid Quthb dalam tafsir Fii Zhilaalil Quran bahwa sesungguhnya fikih Islam itu lahir dan tumbuh dalam masyarakat muslim yang bergerak maju dan menghadapi kenyataan hidup yang riil. Bukan fikih Islam yang membentuk masyarakat muslim ini, tetapi masyarakat muslim yang bergerak maju itulah yang menuntut terciptanya hukum Islam. Maksud ungkapan ini adalah bahwa hukum Islam itu lahir dan tumbuh secara bertahap sesuai dengan kebutuhan hajat hidup masyarakat pada zamannya. Fikih islam yang ada dihadapan kita sekarang ini bukanlah kumpulan hukum yang turun sekaligus lalu kehidupan menyesuaikan dengannya, melainkan hukum-hukum itulah yang turun secara bertahap dan waqi’iy yaitu sesuai dengan kebutuhan pada waktu itu. Karenanya dalam memahami hukum-hukum islam kita wajib memperhatikan konteksnya secara cermat agar kita tidak beranggapan bahwa islam itu adalah sesuatu yang memberatkan karena penuh dengan sekat-sekat yang membatasi. Dan kita jangan terikut-ikut dengan orang yang mengatakan bahwa baju islam itu kekecilan untuk menampung segala aspirasi dan cita-citanya, na’udzu billa min dzalik… itu adalah salah satu bentuk sekulerisme berfikir.
Sesungguhnya hadits Rasulullah tentang larangan meminta jabatan itu terjadi dalam konteks suasana masyarakat waktu itu yang sudah sangat faham tentang hakikat politik dan kepemimpinan yang sesuai denngan syari’at Allah. Karena ditengah-tengah mereka masih hadir Sang Maha Guru Islam yang mampu memahamkan mereka akan segala apapun permasalahan kehidupan saat itu. Maka umat waktu itu telah begitu faham bahwa kepemimpinan hakikatnya bukanlah tasyrif (kemuliaan) yang harus dibangga-banggakan atau disombongkan, bukan pula sebuah ladang emas berlian yang akan memuaskan ambisi syahwat diri dan kroninya, melainkan sebuah ladang yang wajib dikelola dengan sepenuh kesungguhan dan hasilnya untuk rakyat. Kalaupun mereka mengambil dari sana untuk dirinya itu sesuai dengan hak bagian mereka sesuai syari’at. Tidak lebih dari itu.
Kondisi masyarakat waktu itu benar-benar faham bahwa jabatan kepemimpinan adalah sebuah taklif (beban amanah) yang berat dan wajib ditunaikan dengan seksama. Didalamnya penuh dengan pengorbanan untuk kemaslahatan rakyat yang dipimpinnya. Didalamnya terdapat keeikhlasan bekerja yang harus tetap dipelihara. Didalamnya ada kesucian hati dan diri pemimpin yang wajib tetap dijaga. Subhanallah, memimpin sesungguhnya bukan sekedar melampiaskan nafsu syahwat kita terhadap dunia.
Karenanya boleh jadi ditengah kondisi masyarakat yang berpolitik syari’ah seperti itu, jabatan jadi tidak menarik lagi, karena tidak menjanjikan kemewahan bagi pribadinya. Dan dalam kondisi demikian jabatan adalah suatu amanah yang diletakkan oleh umat keatas pundak seseorang yang mereka percayai kesholihannya, sementara sang pengemban amanah itupun menerimanyasebagai sebuah tugas dan tanggung jawab untuk melayani pemberi mandatnya yaitu rakyat. Maka manakala ada seseorang yang meminta jabatan pada waktu itu, Rasulullah saw amat tahu (karena beliau dibimbing oleh wahyu) bahwa orang tersebut punya ambisi syahwat dunia semata. Karenanya Rasulullah bersumpah untuk tidak memberikannya.
Tetapi ikhwatul iman rahimakumullah, pada masyarakat yang jahil terhadap sistem politik syari’at, dimana mereka memahami bahwa politik hanyalah alat pemuas nafsunya, dimana manusia berlomba-lomba untuk jabatan-jabatan basah untuk memperkaya diri dan kroninya seperti yang terjadi pada masa nabi Yusuf as, maka wajib hukumnya bagi nabi Yusuf untuk mengejar jabatan strategis itu dan menunaikannya sesuai kehendak Allah swt.
Nah sekarang kembali kepada permasalahan kita. Dalam zaman apa sebenarnya sekarang kita berada ? Hemat saya saat ini manusia kembali kedalam kondisi awam dan jahil tentang makna dan hakikat politik dan kepemimpinan. Buktinya politik telah menjadi praktek perlombaan pemuasan nafsu diantara para politisi jahil yang semakin lama semakin menebar aroma busuk. Maka dalam kondisi seperti ini kepemimpinan harus direbut oleh para sholihin. Jabatan wajib diberikan kepada orang-orang yang benar-benar faham tentang hakikat memimpin, pengelolaan negeri ini wajib diamanahkan kepada manusia yang faham akan kebersihan dan kebaikan politik sesuai tuntunan tashowwur Robbani.
Maka saudaraku, ketika kita harus memilih diantara pilihan yang terpampang dihadapan kita. Jadilah orang yang bijak dan arif.
Kita sepakat sekali bahwa mereka itu tidak ada yang sebaik Yusuf as dan zaman inipun sangat berbeda dengan zaman Yusuf as. Kalau kesholihan Yusuf as dan Muhammad saw yang jadi patokan mati, niscaya kita tidak akan punya pilihan sama sekali. Tapi kembali syari’at kita dengan ushul fikihnya mengajari kita dalam menghadapi pilihan sulit seperti ini kita harus mengambil pilihan yang akhofu dhororon (yang paling ringan keburukannya).
Masih ada waktu kita untuk kembali menelisik lebih dalam tentang mereka. Jangan malas untuk mencari tahu tentang kebaikan-kebaikan mereka dan jangan tutup mata hati kita terhadap keburukan-keburukan mereka. Pelajarilah rekam jejak kehidupan mereka dan orang-orang terdekatnya. Sebab kebaikan seseorang biasanya tergantung juga kepada baik-tidaknya agama kawan-kawan dekatnya seperti kata Rasulullah saw, “Seseorang berada diatas agama kawan dekatnya, maka hendaklah setiap kamu berhati-hati dengan siapa kamu berkawan”
Bertanyalah kepada pihak-pihak yang faham dan mengerti tentang mereka, berdiskusilah dengan orang-orang yang ikhlas dan objektif dalam menilai, Insya Allah kita akan mendapatkan pilihan yang baik dan Allah mudah-mudahan akan ridho. Meskipun ia pasti tidak akan mampu memuaskan segala harapan kita, tetapi paling tidak Allah tahu apa motifasi kita dalam menentukan pilihan itu.
Allahu a’lam bish showwab
.